Dua Abad Paroki Gedangan (1) |
Wilayahnya Membentang dari Madiun hingga Cianjur Tanggal 27 Desember mendatang, Paroki Gedangan Semarang menapak usia dua abad. Selama rentang waktu tersebut banyak karya yang telah dilakukan. Faktual, paroki ini memiliki peran besar dalam proses pertumbuhan Gereja Katolik di tanah Jawa. Berikut laporannya : DERETAN mural di tembok luar Gereja Gedangan, Jalan Ronggowarsito, Semarang itu sungguh menarik. Gambarnya besar, dengan warna mencolok, memancing mata orang melirik. Bagai komik strip, objek di tiap panel saling berkait. Ada Kedatangan Pastor Lambertus Prinsen Pr di Semarang, pentahbisan Soegijapranata sebagai Uskup pribumi, serta pembaptisan 171 orang Jawa oleh Romo Van Lith. Mural itu dibuat oleh jemaat gereja dalam sebuah lomba yang diselenggarakan beberapa waktu lalu. Tak sekadar hiasan, ia kilas-balik perjalanan sebuah tempat penggembalaan umat Katolik yang telah berusia dua abad. Selain mural, kompleks Paroki Gedangan juga semarak oleh pelbagai kegiatan, mulai dari lomba, acara yang bersifat sosial, hingga laku peribadatan. Meski hari H jatuh pada 27 Desember, rangkaian acara telah dilaksanakan sejak Januari. Dirunut ke belakang, kelahiran Paroki Gedangan tak bisa dilepaskan dari perkembangan Gereja Katolik di Indonesia. Ketua Panitia Peringatan Dua Abad Paroki Gedangan, Laurensius Suhartono, menuturkan, para misionarisl telah menapakkan kaki di Nusantara pada abad ke-7 Masehi. Saat itu benih gereja telah disemaikan di daerah Barus, pantai barat Sumatera. Abu Salih al-Armini mewartakan hal itu dalam karyanya ”Daftar Berita-berita tentang Gereja-gereja dan Pertapaan dari Provinsi Mesir dan Tanah-tanah Luarnya”. Gereja Barus adalah satu di antara 707 gereja dan 181 pertapaan serani yang tersebar dari Mesir, Nubia, Abbesinia (Ethiopia), Afrika Barat, Spanyol, Arab, India, hingga kepulauan Nusantara. Namun setelah itu jejaknya tak terlacak. Sementara, Uskup Ioa De Merignoli OFM, selaku duta besar Paus Clemens VI di Beijing, menulis, dalam perjalanannya ke Sumatera untuk menghadap Raja Sriwijaya pada 1346 ia bertemu dengan banyak orang kristen. Ia sempat berkarya di tempat itu selama beberapa lama. Perkembangan berikutnya, tiga orang uskup ditempatkan di Dabhagsin (Jawa) dan Masin (Sumatera) pada 1502. Sepanjang abad ke-16 dan ke-17, gereja mulai tumbuh di wilayah timur Indonesia. Saat itu Fransiskus Xaverius (1544-1547) menjelajahi Kepulauan Maluku, mulai dari Ambon, Seram, Ternate, dan Morotai untuk mewartakan Injil. Kedatangan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Nusantara pada 1596 membawa dampak buruk bagi perkembangan gereja Katolik. Mereka yang kemudian berkuasa melarang misi-misi Katolik. ”Seperti halnya kebijakan politik di negeri asalnya, Belanda memusuhi Gereja Katolik,” kata Suhartono. Akan tetapi situasi tersebut berubah seiring berkobarnya Revolusi Perancis pada tahun 1789 hingga 1799. Belanda yang saat itu berada di bawah kekuasaan Perancis, mulai menerapkan kebebasan beragama di daerah koloninya, meski dalam banyak hal masih mencampuri urusan di dalam gereja. Lembaran Baru Tahun 1807, lembaran baru sejarah Gereja di Indonesia dimulai. Tahta Suci Vatikan mendirikan Prefektur Apostolik di Batavia dengan wilayah meliputi seluruh Hindia Belanda. Prefektur Apostolik adalah otoritas rendah untuk suatu kawasan dalam Gereja Katolik Roma yang dibentuk dalam wilayah misi dan di negara yang belum memiliki keuskupan. ”Saat itu belum ada Prefek Apostolik (pemimpin Prefektur Apostolik)-nya. Baru setahun kemudian, Mgr Yakobus Nelissen Pr ditunjuk menjadi Prefek Apostolik Betawi. Ia mendarat di Tanjung Priok pada 4 April 1808 bersama Pastor Lambertus Prinsen Pr. Pada masa itu, mereka berdua menjadi Imam di seluruh Nusantara.” Beberapa bulan kemudian, Herman Willem Daendels yang ditunjuk Napoleon Bonaparte menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, mengangkat Lambertus Prinsen Pr sebagai Pastor Stasi Semarang. Dia tiba di kota ini pada 27 Desember 1808. Momentum kedatangan Pastor Prinsen inilah yang kemudian diperingati sebagai tanggal berdirinya Paroki Gedangan. Tanggal 9 Januari 1809, Santo Yusup dipilih sebagai nama pelindung Gereja Katolik Stasi Semarang. ”Waktu itu wilayah Stasi Semarang amat luas. Di bagian timur sampai ke Madiun, di selatan hingga Yogyakarta, dan di barat sampai daerah Cianjur dan Indramayu. Karena belum memiliki gereja, Daendels mengizinkan umat Katolik menggunakan Gereja Blenduk untuk beribadat,” papar Suhartono. Mgr Yakobus Nelissen Pr dan Pastor Prinsen berkarya selama 74 tahun, hingga datang Imam Praja terakhir Pastor (Mgr) J Lynen (1858-1882). Pastor inilah yang memiliki peran besar dalam pembangunan Gereja Gedangan. Gereja dengan 650 tiang pancang itu diresmikan pada 12 Desember 1875. Lynen juga mendatangkan suster-suster Ordo Santo Fransiskus (OSF) di Indonesia. Tahun 1888, karya pendidikan dimulai dengan pendirian sekolah dasar Santa Maria untuk anak-anak dari kalangan papa. (Leonardo Agung B, Rukardi-46) |
No comments:
Post a Comment